Kegamangan Mutakhir di Pundak Proposal Miskin
Oleh Daniel Kaligis
SESUMBAR bergulir. Pada bilik yang sama
kecewa mengalir. Pesta pora dalam emperium yang mengumumkan demokrasi saat
rakyat belum berdaulat, euphoria hak-hak menyiratkan kepentingan elite saja.
Walau ada yang menghentak dengan nada tegas, soal kemajuan yang menentukan
adalah juga soal iman dan intelektual. Di banyak lokasi, kebinggungan jadi
lebih beringgas. Tag terus berubah, ketika tiba masa, tibalah akal-akalan.
Kekinian diusik cerita-cerita. Gambar
transparan yang sanggup membedah kemunafikan berita yang tak tahu apa-apa.
Mungkin ini pun bukan kabar baru, cuma dipoles dan dibungkus lagi, isinya masih
itu-itu saja.
Coba buka lembar yang sudah lewat, niscaya
kita akan sanggup memandang dari jarak yang tepat dan pas dengan lebih cermat.
Ini anjuran bagi mereka yang sudah (terlanjur) mengaku sebagai pemimpin,
supaya datang dan lihat dari dekat apa yang ada di tataran rakyat. Cerita ini
menderas sebab aroma sistem tercium tak sedap, apalagi saat rakyat hanya jadi
oceh seminar. Rakyat hanyalah bahan baku proposal miskin.
Catatan penting yang berujung hari silam
dihembuskan, untuk belajar dari pengalaman. Rakyat butuh pemimpin yang seperti
apa? Yaitu dia yang mau mengakomodir suara rakyat, serta mampu meningkatkan
kualitas pelayanan dan kesejahteraan rakyat. Demokrasi kita adalah partai yang
memilih sesuai selera. Demokrasi bingung dan bimbang. Termenung di warung pojok
persimpangan zaman yang lupa diri dan hilang ingatan.
Layak dipikir ulang untuk kembali mengumumkan
khotbah-khotbah kemenangan. “Kami terus berupaya dengan sungguh-sungguh untuk
melanjutkan upaya pengurangan kemiskinan, pengangguran dan hutang pemerintah
terutama hutang luar negeri kita. Upaya tersebut juga telah dilakukan
sebelumnya, yang dalam kenyataannya juga mengalami pasang-surut.”
Sudah lewat hari kita pilih pemimpin, dan kita kembali lagi ke
rutinitas. Event itu datang sesuai permintaan sistem, pada lima tahun sekali, atau sesuai kebutuhan dan sesuai kepentingan. Boleh jadi hilang makna, di anggur yang melebihi dosis karena senang
dan menang kita boleh diukur seberapa banyak yang melewati kerongkongan.
Padahal, kemarin kita boleh membasuh kaki dengan merendahkan diri sendiri,
supaya kita boleh belajar berempati dengan situasi manusia lain yang lebih
buruk nasib dari kita. Namun, lain waktu kita tak dapat mengulang lagi.
Kembali ke kubangan masa lalu, diri penuh
dosa dan nista. Lupa untuk selamanya jadi biasa. Dan pada tataran implementasi,
gerak pembangunan seperti sepi dan banyak warga yang tidak tahu yang mana
daerah mereka merupakan target dari pengentasan kemiskinan. Informasi itu masih
dibetot. Bila rakyat bertanya tentang pembangunan yang asal-asalan, maka ia
selalu dikucilkan dan dianggap pembangkang.
Mari kita diktekan lagi cerita kemarin itu.
Sebuah alasan yang kadang susah dibantah, dan dengan argumen yang miris ada
yang sudah punya jawaban yang terlihat serius. Kenyataan yang sudah pasti.
Kenyataan yang ada di mimpi-mimpi meminggirkan segala kepastian. Segenggam soal
yang tak mampu dipeluk jari-jari lalu tercurah mengotori baju keteledoran. Bila
datang petaka, berita menudingkan kepasrahan mereka yang berduka. Simpul-simpul
rumit semakin membelit. Pasang yang tak mau surut, airmata yang membanjir sebab
segalanya sudah terlanjur dan jadi percuma untuk diungkit-ungkit. Adalah janji
manis yang sudah jadi racun yang siap membunuh masa lalu.
Mimpi-mimpi penghibur lara. Jangan sampai
dari banyak yang sudah merasa layak dan patut memimpin, namun sayang, hingga
detik ini ia cuma mampu terus bermimpi mengentaskan segala miskin dalam
mimpinya saja, tanpa punya hasrat untuk bangun dan mengerjakan amanat yang
pernah diusungkampanyekan dulu sebelum jadi pemimpin.
Tidurlah lebih panjang lagi, maka kemiskinan
datang seperti penyerbu yang tak diduga.
Rakyat miskin terus diserbu
berbagai tuntutan ‘kaya’ peran membayar segala kewajiban karena sudah bersedia
dan patut jadi rakyat saja, supaya elite lebih berdaya dan dapat mengumumkan
banyak keputusan kebijakan yang sudah mereka siapkan. Mimpi itu sudah sering
berlayar ke negeri seberang dan pulang membawa hayalan baru.
Di bilik yang lain, kita membeber pungutan
liar. Rakyat adalah sejarah tersayat. Bagai cerita sumbangan tanpa tekanan
dan tanpa nama. Hendakkah kita menjelaskan ke mana arah sumbangan itu? Kisah
sumbang menyumbang sambung-menyambung seperti persabungan.
Kita masih mendiktekan kegamangan yang
mutahir dan mendidikkan keraguan. Semakin hari semakin jadi. Semakin banyak
pengangguran yang meragukan dan kemiskinan yang membingungkan. Jumlah itu dapat
ditelusuri di daftar nama penerima dana miskin, dana sehat, dana baju, dana
diktat, dana fotokopian, dana les, dana laboratorium, dana segala cara untuk
mendiamkan persoalan.
Kita kehilangan alat bedah bagi tiap fenomena
yang berlangsung dalam kehidupan manusia-manusia yang semakin canggih. Bila ada
yang tersisa, itulah yang terus dipungguti dan menjadi sarapan kita saat malam
datang bersama lapar keadilan yang hilang.(*)
__________
Artikel ini dapat dibaca juga di:
https://jurnaloriente.wordpress.com/2014/03/04/kegamangan-mutakhir-di-pundak-proposal-miskin/
Jurnal Oriente
Ruang Diskursus dari dan tentang bagian timur Nusantara
https://jurnaloriente.wordpress.com/2014/03/04/kegamangan-mutakhir-di-pundak-proposal-miskin/
Jurnal Oriente
Ruang Diskursus dari dan tentang bagian timur Nusantara
Comments
Post a Comment