Sajak Buruh



First of May

Oleh
Daniel Kaligis


PENGHUJUNG April tahun silam saya mengedit sepotong sajak bagi teman buruh: “sang rentah, lahir batas mati. Mana kelamin tak fisika tak biologis? Ada! Kita menamainya jenis kelam.”Deretan kata itu, sudah ada sejak medio 2009 dengan hashtag #Pair #Faction #MayDay.Saya menyimpannya bersama gambar hasil bidikan 2009. Sudah sembilan kalender berganti, Mei datang lagi.

Ilusi menjalar ke 2010, manakala ribuan buruh ramai berorasi. Mereka memadati jalan-jalan, di depan gedung DPR Senayan, di jalan Sudirman, Thamrin, hingga depan istana negara. Sutrisno Sastromiharjo, dari Serikat Buruh Indonesia Jabodetabek, meneriakan agar buruh dan petani bersatu sebagai gerakan rakyat dan alat perjuangan politik.

Saya, di sana. Kami mengendarai motor, Jepsony berboncengan dengan seorang jurnalis, saya di motornya Denny Ramagiwa, merambah Jakarta, di titik-titik demo.

Bongkar-bangkir kisah. Saya mengulangi, masa silam selalu memberi tanda, bekas jejak salahsatunya, masih dengan sajak: journey, memulung senyummu di tebing cakrawala — labour, employment opportunitieshistory memerintah, her story diinjak berdarah-darah. #Amity #Companionship #Friendship #Life #Love #Togetherness #Thought #Travailleurs. Tanda bagi Mei 2017. Saya hanya membaca dan mendengar berita buruh ibukota, atau berkawan dengan mereka di sudut-sudut kumuh perjumpaan.

Pembantu di rumah seberang, tukang batu di bangunan sekolah, penarik becak di ujung gang, penyapu jalan, penjaga tokoh, tukang es keliling, apa mereka pernah demo? Mungkin pernah!

Saya bertanya pada kawan Azis, buruh bangunan di depan rumah. “Kau ikut demo buruh nanti?” Azis senyum. “Saya dipecat boss kalau sehari tidak masuk kerja,” kata dia dengan raut tak terdefinisikan. Tertawanya tertahan.

Saya sering ngobrol dengan boss-nya Azis, saya juga sering berbagi kisah dengan Azis dalam banyak kesempatan. Jelang magrib usai menyapu jalanan depan rumah, kami bercerita di bawah Angsana. Saya lebih banyak mendengar keluh-kesahnya. Azis bertutur tentang istrinya yang dirawat karena sakit, dan semua biaya ditanggung boss. Ketika bangunan di mana Azis bekerja bagian depannya belum disemen, saya sering melihatnya duduk di lantai tiga menikmati malam, anaknya bermain di sudut lain berapa depa dari jangkauannya.

Bila pagi, Azis memegang selang air, menyemprot halaman, membasahi jalan berdebu, menyiram hingga semua basah. Azis suka menyanyi, suaranya sayup-sayup, headset nempel di kuping, kepala mengangguk-angguk. Tapi, saya tidak pernah sekalipun mengajak dia nyanyi bersama. Suaranya false!

TURNING blue: ibukota negara, 2010.

Seharian meliput demo, tubuh berbau keringat, wajah merah merekah. Depan bundaran HI, di bayang patung perunggu, monumen Selamat Datang Jakarta yang dirancang Henk Ngantung dan dikerjakan Edhi Sunarso, saya duduk di lingkar itu, membuka kamera, melihat hasil bidikan. Denny Ramagiwa menuju selatan Jakarta, saya menyeberang, tuju Wisma Nusantara dengan seorang kawan. Malam turun. Belantara kota bertabur lampu. Saya menepi di halte, menunggu bus, lalu pulang mengarah Majestic.

Di rumah, saya masih nyuci sendiri, walau di ruang cuci ada mesin canggih, saya lebih suka mengucek dengan tangan. Membersih lantai, mengatur selimut bantal dan pembaringan, menanam bibit-bibit sayur dan buah, membaca buku, menjelajah internet, tidur hampir pagi dan bangun tengah hari. Itulah mengapa ada suara halus yang saban berteriak membangunkan bila ada kerja belum beres, atau jika ada kawan saya mampir dan saya masih mendengkur. Tapi, saya tidak pernah mengaku sebagai buruh.

Medio 2011, saya membalas Tangka – Pewaris Bangsa, dikirim kawan Mira dari Amsterdam: “Dalam hening ingatan lupa, ziarah di pusara tanpa nisan, manakala babad dimodifikasi system warisan nista. Musim berganti, dan rakus mengental meliar memangsa rasa.”

Pernah rasa jadi pengangguran, hidup luntang-lantung, setengah modar cari gawean. Hanya meramu sajak, lalu tidur dalam haus lapar. Waktu siuman masih tetap haus lapar. Maar, di saat ada uang, ada kerjaan, kita tidak menabung. Uang buat beli alkohol, buat pesta dengan kawan-kawan. Kami seperti itu, para buruh mungkin ada yang seperti itu, demikian asumsi saya, dan saya turut bersenang walau saya bukan buruh. Ukuran bahagia siapa yang dapat menilai? Tanya itu tak penting didebat, mungkin juga demo boleh menghasilkan rasa bahagia. Bisa saja!

Baru terbit di media maya, berapa menit silam, esai Sarinah di https://mojok.co: “Jangan musuhi kemajuan teknologi dan robotisasi. Di hari buruh 2018, kita harusnya menyadari, masalah buruh 1918, 2018, atau 2030 sampai masih sama kayak dulu-dulu: pengusaha yang serakah.” — Refleksi Hari Buruh 2018: Musuh Buruh Bukan Kemajuan Teknologi —

Saya memilih demo dengan membaca sajak lama karya sendiri:

PATH May 1, 2011 at 2:34pm

subuh samar yang memar
jejak merekah di atas kelopak embun
siapa hitung keriapmu
sunyi menggambar tapak-tapakmu hilang
di ujung persimpangan

regulasi,
setapak basi,
jalan yang dihembus negara
pecut kaki-kaki,
lengan mendayung badai sampai mati

birama kelam,
wahai tapak-tapak luka
sungai sejarah menjadi tinta darah
catatkan kebosanan membiru di kekumuhan kota
di sana nyanyian terbunuh untuk pemantauan buta tuli
adalah dedaun, rerumput duri
untuk musim kemarau tak pernah berganti
hakmu terbakar

birama kelam,
jejak merekah di atas kelopak embun
siapa memahat kisah jejakmu
di tembok peradaban biadab
semua samar,
sejak jejakmu dibalut marmer
sebagai monumen kalut

comrades,
catatkan,
walau kami dihitung sebagai budak
kami tak terhitung di antara kerumunan organisasi
karena kami adalah diri kami sendiri
penerobos sandiwara perang yang buyarkan lamunan damai

comrades,
catatkan,
pahlawan hanya skenario dominasi kuasa
untuk membungkam jejak travailleurs

di jejak yang sempat kau catatkan
kami akan tetap menjadi travailleurs

________

Selamat hari buruh, dan terus berjuang untuk kenangan yang musnah di jalan-jalan. (*)

Comments

Popular posts from this blog

GSP bawa lagu daerah Indonesia ke Barcelona

Jokowi Tinjau Paselloreng

Amunisi PSI dari Tim Pemenangan Prof Andalan